Ikhlas



Oleh : Rina Sumaryati

Hanya satu kata. Mudah diucap namun sulit untuk dijalani. Mataku tak henti basah ketika harus menulis ini. Jari jemari menari, mencoba merangkai aksara yang entah mengapa begitu menyayat hati. Melalui tulisan ini inginku merilis emosi, mengalirkan rasa, menguras tangis dan sesak yang terasa tertahan begitu lama. Tentang duka, dan pengharapan yang entah kapan ujungnya. Rindu pada sosok yang belum pernah hadir. Kegagalan dari sekian banyak usaha untuk menghadirkannya. Pun takdir yang seolah tidak adil.

Kubiarkan air mata ini terus menetes, sesekali kuseka, namun biar saja. Biar dia terus mengalir, melebur kekecewaan dan menyapu habis kesedihan. Aku hanya ingin sembuh, mungkin hanya dengan cara ini aku bisa sembuh. Sembuh dari luka yang mengikis percaya bahwa keajaiban itu ada. Dari rasa iri pada nikmat yang Tuhan beri pada sekelilingku namun belum juga memberikannya padaku, menjawab do'aku. Sembuh dari perasaan kurang bersyukur hanya karena satu cobaan, hingga menutupi semua nikmat lain yang Tuhan berikan. Terlebih dari itu aku ingin sembuh dari sekian rasa bersalah pada orang-orang terkasih, bahwa kenyataan aku belum mampu menyempurnakan harapan mereka untuk menjadi seorang ibu.

Aku tidak tahu, mengapa tangisan kali ini begitu nikmat. Sungguh kali ini aku tak menangisi ataupun menyalahkan takdir. Aku hanya sedang berusaha memahami. Aku sadar bahwa pemahaman adalah langkah awal penerimaan, dan hanya dengan penerimaan bisa ada penyembuhan.

8 tahun 7 bulan, bukan waktu yang singkat untuk sebuah penantian. Bukan perkara mudah selama itu untuk menaklukkan perasaan. Namun aku terus mencoba berproses dan belajar. Belajar memahami, memaafkan dan menerima diriku sendiri beserta setiap kekurangan yang ada. Hingga perlahan berhenti menyalahkan diri sendiri. Belajar menjinakkan kehidupan yang tak sejalan dengan harapan. Hingga sedikit demi sedikit mulai bersyukur atas nikmat yang lain. Dalam proses perjalanan belajarku, aku coba menyelami tiap jengkal proses perjalanan hidup yang Tuhan titipkan. Mengais kembali puing-puing kebahagiaan yang Tuhan anugerahkan. Melihat lebih dalam ke sekitar, menilik kembali proses yang orang lain jalani. Seketika terasa begitu kerdil diri ini, menerima kenyataan aku tak sendiri, diluar sana bahkan banyak yang diuji dalam penantian yang jauh lebih lama lagi. Tak pantas rasanya aku mengeluh. Malu pada banyaknya dosa yang ku tangguh. Ku tengok kanan kiri, kusaksikan betapa banyaknya orang yang sedang tertimpa ujian. Menelusuri tiap rumah, selalu ada rintihan dalam hal yang beraneka. Setiap pipi pasti pernah basah oleh air mata.

Luar biasa skenario Tuhan, impas dalam pembagian, adil bagi setiap hamba-Nya. Semua mendapat porsi ujiannya masing-masing. Bukankah tidak ada rumah tangga yang sempurna? Tiap rumah tangga memiliki masalahnya sendiri-sendiri. Ada yang diuji dengan materi. Ada yang istrinya baik, suami bermasalah. Suami baik, istri yang bermasalah. Suami istri baik, mertua bermasalah. Ada yang suami istri baik, mertua juga baik namun ipar atau tetangga yang bermasalah. Ada yang semuanya baik, tapi masih merindukan momongan.

Bisa jadi saat ini kesabaranku diuji dengan penantian buah hati, namun nyatanya justru diluar sana banyak yang kesabarannya diuji melalui buah hatinya. Banyak yang dalam penantiannya terus dicerca suami dan keluarganya. Menjadi terdakwa yang tak jelas kesalahannya, karena sejatinya ini diluar kuasa manusia. Tidak denganku, betapa beruntungnya aku memiliki keluarga dan suami yang menerima apapun kondisi kami. Sosok suami sabar yang tak pernah mengeluh pada orang lain, dia hanya menitikkan air mata dan menitipkan harapannya pada bait do'a yang selalu ia panjatkan setiap usai sholatnya. Ia yang selalu menguatkanku, mendekapku di dadanya ketika harapan begitu memudar tiap kali siklus bulanan datang. Lelaki lembut penuh keteduhan, yang manakala menatapnya aku menemukan cinta. Cinta yang setia, tanpa syarat dan tuntutan, kecuali tuk saling membahagiakan. Dia tak sempurna namun dialah terbaik yang aku punya. Tak hingga terima kasihku pada Tuhan telah menjodohkan aku dengannya.

Diantara lembar-lembar buku kehidupan. Setelah mengkaji dan mengambil hikmah dari sekian banyak peristiwa. Rentetan panjang itu mengubah diriku yang dulu lugu, dipenuhi ekspektasi-ekspektasi yang nyatanya hanya semu. Perlahan jadi seseorang yang baru. Seseorang yang jauh lebih tegar dan sabar dari sebelumnya. Menanggalkan ekspektasi-ekspektasi yang ternyata saat didapat pun tak menenangkan hati. Menjadi pribadi yang lebih religi, dan memasrahkan segala hal dunia kepada ilahi. Karna hanya Dia zat yang mengerti isi hati meski tersembunyi.

Dalam diam, bukan berarti aku berhenti berharap dan berusaha. Diamku hanya pada manusia, namun pada Tuhan aku banyak bicara. Dikeheningan malam aku bercerita kepada-Nya. Setiap waktu aku ikhtiar sebaik aku bisa. Dalam senyum, aku bukan tak merasa kesepian. Namun tangis itu aku sembunyikan, kuelukan hanya pada-Nya. Merengek pada-Nya, mengharap belas kasih terkabulnya do'a. Tiap acap kali suara-suara sumbang sekitar menghakimiku, aku mengadu, memohon kekuatan yang baru.

Mungkin ini hanya sekedar cara Tuhan untuk mendewasakan dan menjadikan aku pantas. Pantas untuk kelak menerima anugerah yang lebih baik dari anugerah yang diberikan pada mereka yang mudah untuk mendapatkannya. Memberikan luka di awal namun mempersiapkan kebahagiaan tak terhingga setelahnya. Semoga saja, aamiin.

Jika memang ini prosesnya, aku hanya bisa menerima. Berusaha menyempurnakan ikhlas. Semoga Tuhan mengampuni segala dosa, kemudian mengabulkan do'a.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar